Sholat Dhuha, Sholatnya 360 persendian



MUQODDIMAH

بسم الله الرحمن الرحيم    
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ  نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ (آل عمران : ١٠٢

 یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسࣲ وَ ٰ⁠حِدَةࣲ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالࣰا كَثِیرࣰا وَنِسَاۤءࣰۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِی تَسَاۤءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَیۡكُمۡ رَقِیبࣰا (النساء : ١

 یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَقُولُوا۟ قَوۡلࣰا سَدِیدࣰا ۝  یُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَـٰلَكُمۡ وَیَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن یُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِیمًا  (الأحزاب : ٧١-٧٢). أما بعد

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

Semoga shalawat serta salam tetap tercurah limpahkan kepada Baginda Mulia Rasulullah Muhammad  shallallaahu 'alaihi wasallam, beliau yang seyogyanya menjadi suri tauladan kita yang baik,  baik dari segi Beramal,  beribadah,  ataupun bermuamalah,  Tak lupa juga  kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Kiamat. 

Seorang Muslim tentu banyak keinginan dan permintaan,  dan manusia memang hakikatnya lemah dan fakir,  maka hal itu butuh kepada yang maha kaya yaitu Allah Azza Wa jalla,  Dzat yang Pemurah dan Penyayang.  Salah satu cara terbaik seorang hamba untuk mendapat rahmat dan kasih sayangnya dengan cara bertaqorrub, merendahkan dirinya didepan Dzat yang Maha Besar dan Maha Berkuasa. Diantara cara nya adalah dengan memperhatikan amalan yang paling utama, yaitu Sholat, baik yang wajib ataupun sunnah.

Ucapan Terima Kasih dan rasa syukur kepada Ayah dan ibu penulis Bapak Nanu Fazrudin Spd.I Hafidzhohullah,  dan Ibu Penulis Nurhasanah Hafizhohallah. Dan juga para guru dan Asatidz penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu,  dan rekan-rekan perjuangan di Kampus UIM,  saya haturkan “Jazakumullah Khoiron Katsiiir”, Semoga Allah membalas dengan Sebaik-baik ganjaran. 

Semoga buku kecil ini bermanfaat bagi penulis dan kaum Muslimin, dan mudah-mudahan usaha ini ikhlas Karena Allah Azza Wa Jalla,  dan menjadi timbangan kebaikan pada hari Kiamat. Tentu Buku kecil ini pasti banyak kesalahan sana sini,  maka mohon saran dan masukan yang membangun untuk penulis. Jika ada kesalahan tentu datangnya dari penulis,  dan jika ada kebenaran tentu datangnya dari Allah,  Zat yang berhak untuk disembah oleh semua hambanya. 

Alhamdulillah dengan izin Allah,  inilah buku kecil pertama yang ditulis penulis,  Diselesaikan di Madinah Al-Munawwaroh, pada tanggal 12 Dzulqo’dah 1441/ 3 Juli 2020, dengan judul “Sholat Dhuha,  Sholatnya 360 Persendian”.

A. Definisi dan Waktu Sholat Dhuha

Shalat Dhuha adalah 
الصلاةُ المؤدَّاةُ في وقتِ الضُّحَى، وهو أوَّلُ النَّهارِ
"Sholat yang pelaksanaanya pada waktu Dhuha, yakni Shalat menjelang siang." (Hasyiah Al-Bajirami : 1/149)

 Sholat yang dilakukan ketika matahari tinggi setinggi tombak atau ketika keluar dari waktu yang terlarang dipagi hari (Sekitar 15 menit setelah Waktu Syuruq), Syaikh Al-Utsaimin Rahimahullah Berkata mengenai hal ini
وقت النهي: من طلوعِ الشَّمس إلى أن ترتفِعَ قِيدَ رمح، أي: بِعَيْنِ الرائي، وإلَّا فإنَّ هذا الارتفاعَ قِيدَ رمح بحسَب الواقع أكثرُ من مساحةِ الأرض بمئاتِ المراتِ، لكن نحن نراه بالأُفق قِيدَ رمح، أي: نحو متر. وبالدَّقائق المعروفة: حوالي اثنتي عشرة دقيقة، ولنجعله رُبع ساعة، خمس عشرة دقيقة؛ لأنَّه أحوطُ، فإذا مضى خمس عشرة دقيقة من طلوع الشمس، فإنه يزولُ وقت النهي، ويدخل وقتُ صلاة الضحى

“Waktu Terlarang itu Dari terbitnya matahari sampai menaik setinggi tombak (yakni dengan pandangan mata) dan jika tidak,  Karena sesungguhnya tinggi tombak itu  dengan pertimbangan  yang nyata lebih banyak dari pengukuran tanahnya sebanyak 100 kali,  tetapi ketika kita melihat Ufuk nya setinggi tombak (yakni seperti 1 Meter), dan  yang diketahui dari menitnya : Yaitu kurang lebih 12 menit,  lalu kita jadikan ¼ Jam yakni 15 menit,  karena untuk tindak kehati-hatian,  Maka apabila telah melewati waktu selama 15 menit dari terbitnya matahari,  maka sesungguhnya telah keluar waktu yang terlarang,  dan itulah waktu dimana masuknya waktu Sholat Dhuha”. (Syarhul Mumti’ : 4/87-88)
 Dan waktu Dhuha, waktunya cukup panjang sampai menjelang matahari tepat dipuncaknya,  atau waktu yang terlarang (Sekitar 10 menit menjelang Waktu Dzuhur). Syaikh Al-Utsaimin Rahimahullah berkata

قبل زوال الشمس بزمن قليلٍ حوالي عشر دقائق؛ لأنَّ ما قُبَيل الزوال وقتُ نهيٍ ينهى عن الصلاة فيه؛ لأنَّه الوقتُ الذي تُسْجَر فيه جهنَّم، فقد نهى النبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يُصلَّى فيه، قال عقبة بن عامر رضي الله عنه: «ثلاثُ ساعات كان رسول الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ينهانا أن نصلِّي فيهن، أو أن نقبُرَ فيهنَّ موتانا: حين تطلُع الشمسُ بازغةً حتى ترتفِعَ، وحين يقوم قائمُ الظهيرةِ حتى تميلَ الشمس، وحين تضيَّفُ الشمسُ للغروب حتى تغرب». وقائم الظهيرة يكون قُبَيل الزوالِ بنحو عَشر دقائق، فإذا كان قبيل الزَّوال بعشر دقائق دخل وقت النهي؛ إذًا وقت صلاة الضحى من زوال النهي في أوَّل النهار إلى وجود النهي في وسَط النهار

“Sebelum tergelincir nya matahari dengan waktu yang sedikit,  sekitar 10 menit,  karena sesungguhnya  setiap sebelum tergelincir waktu yang terlarang,  dan dilarang untuk sholat didalamnya,  karena Waktu yang (saat dimana)  dinyalakan api neraka Jahannam,  Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  melarang sholat didalamnya,  Uqbah Bin Amir Radhiallahu anhu berkata : (Ada) 3 Waktu yang dimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  melarang kita untuk sholat didalamnya,  atau juga dilarang menguburkan orang yang meninggal pada waktu tersebut,  1. Yaitu ketika matahari terbit sampai meninggi 2. Ketika seorang berdiri pada waktu yang cerah (tepat ditengah matahari) sampai matahari condong,  3. Ketika matahari miring (Menjelang terbenam) sampai terbenamnya matahari.  Dan seorang yang berdiri dibawah matahari sebelum tergelincir (itu kurang lebih) sekitar 10 menit, maka jika (ketika) sebelum tergelincir matahari sekitar 10 menit maka ia telah masuk waktu yang terlarang, Kalau Begitu Waktu Sholat Dhuha (adalah dimulai) dari selesainya waktu yang terlarang,  di awal siang sampai adanya  larangan dipertengahan siang hari”  (Syarhul Mumti’ : 4/87-88) 

 Inilah waktu yang panjang,  kurang lebih 6 jam,  Maka sangatlah rugi jika seorang muslim dalam harinya,  ia tidak bisa mengerjakan shalat dhuha walaupun hanya 2 rakaat,  yang durasinya kurang lebih 5 menit saja. Maka gunakanlah waktu ini sebaik mugkin. 

Dunia ini akan kita tinggalkan, yang terpenting adalah nasib kita di akhirat, mari persiapkan sebaik-baiknya dengan amal, semoga Allah merahmati dan memberikan kita taufiq untuk mengamalkan hal ini. 

B. Waktu dan Tempat Terbaik Sholat Dhuha

Sedangkan  Waktu terbaik untuk melaksanakan Shalat Dhuha yaitu diakhirkan yaitu ketika waktu  menjelang panas, dan ini adalah Madzhab Jumhur Ulama,  Madzhab Syafii’,  Hambali,  dan Hanafi. 
Dalam suatu hadits dijelaskan bahwasannya hal itu bisa disebut juga Shalat awwabin yaitu yaitu shalat orang-orang yang kembali kepada Allah setelah sebelumnya lalai, penuh dosa, akhirnya mengingat-Nya dan bertaubat. Dahulu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa merutinkan shalat Dhuha, waktu sholat Dhuha yang paling Afdhol adalah ketika anak unta kepanasan, yakni makin siang atau makin panas waktunya. 
 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أنَّهُ رَأَى قَوْماً يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى ، فَقَالَ : أمَا لَقَدْ عَلِمُوا أنَّ الصَّلاَةَ في غَيْرِ هذِهِ السَّاعَةِ أفْضَلُ ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ :  صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِيْنَ تَرْمَضُ الفِصَال 
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia melihat satu kaum yang melakukan shalat Dhuha, Zaid pun berkata, “Tidakkah mereka tahu bahwa shalat di waktu selain ini lebih utama, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasaam bersabda : Shalat Awwabin (orang-orang yang bertaubat) itu adalah ketika anak-anak unta sudah merasa kepanasan (karena matahari) (H.R Muslim :745)

أي: إذا وجَدَ الفَصيلُ حَرَّ الشمس من الرَّمْضاءِ، وهو الرَّمْل
Maksudnya “Tarmadul Fishol”, Apabila didapati anak unta yang disapih,  kemudian kakinya merasakan panas pada pasir,  karena panasnya matahari (Lisanul Arab : 7/106)

Sholat Dhuha bisa juga diawal waktu yaitu waktu isyroq, namun yang terbaik seperti yang telah diutarakan bahwa sholatnya ketika diakhirkan atau makin siang,  Syaikh Bin Baz Rahimahullah berkata

صلاة الإشراق هي صلاةُ الضُّحى في أول وقتها، والأفضلُ فِعلها عند ارتفاع الضحى واشتداد الرمضاء؛ لقول النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: «صلاة الأوَّابين حين تَرمَض الفِصالُ
Sholat Isyroq (Ketika Terbit Matahari)  adalah Sholat Dhuha di awal waktunya dan lebih utama dikerjakan ketika waktu Dhuha pada puncak panasnya ketika anak unta kepanasan. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz : 11/389)

Imam Ar-Romli Rahimhullah, seorang ulama dari Madzhab Syafii juga berkata 

المعتمد أنَّ صلاة الإشراق هي صلاةُ الضحى
Yang tepat (dalam Madzhab Syafii) bahwa Sholat Isyroq adalah Sholat Dhuha (Fatawa Ar-Romli : 1/220) 

Mengenai tempatnya yang terbaik adalah dirumah,  karena pada asalnya sholat sunnah itu yang terbaik adalah dirumah,  namun jika sholatnya di masjid,  maka hal ini dibolehkan,  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Zaid Bin Tsabit Radhiallahu anhu. 

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ ؛ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
“Shalatlah kalian, wahai manusia, di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR Bukhori no. 731 dan Muslim no. 781)

C. Hukum dan Keutamaan Sholat Dhuha

Para ulama sendiri atau jumhur salaf dan juga mutaakhirin seperti yang dikatakan Imam Nawawi,  sepakat bahwasannya hukum shalat Dhuha adalah sunnah, Begitupun 4 Madzhab yakni Hanafi, Maliki,  Syafii,  Hanbali bahwa hukum Sholat Dhuha adalah Sunnah

Menurut Madzhab Syafii, Imam Nawawi Rahimahullah berkata 

أما حُكم المسألة، فقال أصحابنا: صلاة الضحى سُنَّة مؤكَّدة
Adapun mengenai hukum masalah,  Maka telah berkata Ulama Syafiiyyah : Sholat Duha adalah Sunnah Muakkadah
 (Al-Majmu : 4/36)

Dan Menurut Madzhab Hambali,  hendaklah sholat dhuha tidak mendawamkannya setiap hari,  karena hal ini bukan hal yang wajib dan bukan yang termasuk dalam sunnah Rawatib, Imam Mardawi Rahimahullah Berkata

والصحيح من المذهب: أنه لا يستحبُّ المداومة على فِعلها، بل تفعل غباً
Dan yang shohih dalam Madzhab (Hambali),  Bahwa tidak dianjurkan dikerjakan secara kontinyu,  melainkan dikerjakan secara silang. (Al-Inshof : 2/136)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : dan Para ulama mengatakan jika belum melaksanakan Qiyamul lail,  hal ini sangat dianjurkan atau sunnah muakkadah dengan dilakukan secara kontinyu. 
Diantara dalil anjuran dan keutaamaannya adalah sebagai berikut
1.Merupakan Wasiat Nabi
Terdapat dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu

أوصاني خليلي رسول الله صلى الله عليه وسلم بثلاث، صيام ثلاثة أيام من كل شهر، وركعتي الضحى وأن أوتر قبل أن أنام
“Kekasihku (Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam)  mewasiatkan kepada ku  dengan tiga hal, yaitu 
1. Shaum tiga hari di setiap bulan (Ayyamul Bidh: 13,14,15)
2. Dua Rakaat Shalat Sunah Dhuha
3. Shalat  sunnah Witir sebelum tidur.
 (H. R Bukhori no. 1981 dan Muslim no. 721, Abu Daud no. 1432, Nasai no. 1677, Ad-Darimi no. 1495, Ahmad no. 7138)
2. Mengganti sedekah dengan 360 persendian
 Rasulullah Shallallahu alaihi  bersabda 

 في الإنسانِ سِتونَ و ثلاثُمِئَةِ مَفْصِلٍ ، فَعليهِ أنْ يَتَصَدَّقَ عن كلِّ مَفْصِلٍ صدقةً . قالوا  فمَنْ يطيقُ ذلكَ يا رسولَ اللهِ ؟ قال : النُّخَاعَةُ في المسجدِ تَدْفِنُها ، و الشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ ، فإنْ لمْ تَقْدِرْ ، فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجزِي عَنْكَ
"Pada diri manusia itu terdapat tiga ratus enam puluh persendian, maka hendaklah ia memberi sedekah untuk setiap persendiannya tersebut." Para sahabat berkata, "Wahai Nabi Allah, siapa yang akan mampu melakukannya!" beliau bersabda: "Mengubur ludah dalam masjid atau sesuatu yang engkau buang dari jalan (adalah sedekah), jika tidak mendapatinya maka dua rakaat dhuha sudah cukup bagimu."
(H.R Abu Daud no 5242, Ahmad no. 23037, dan dishohihkan Al-Albani didalam Shohih at-Targhib no. 666)

Imam Asyaukani Rahimahullah Berkata

وَالْحَدِيثَانِ يَدُلَّانِ عَلَى عِظَمِ فَضْلِ الضُّحَى وَكِبَرِ مَوْقِعِهَا وَتَأَكُّدِ مَشْرُوعِيَّتِهَا، وَأَنَّ رَكْعَتَيْهَا تُجْزِيَانِ عَنْ ثَلَاثِمِائَةٍ وَسِتِّينَ صَدَقَةً، وَمَا كَانَ كَذَلِكَ فَهُوَ حَقِيقٌ بِالْمُوَاظَبَةِ وَالْمُدَاوَمَة 

“Hadits (Abu Dzar dan hadits Buraidah) menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus” 
(Nailul Author, 3/78).

Pahala dua raka’at Dhuha setara dengan pahala sedekah persendian yang berjumlah 360 persendian, akan tetapi kadang kita menyepelekannya, dan Hari berganti hari tanpa kita melakukan sholat Dhuha.
3. Sholat Awwabin yaitu sholat yang kembali taat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

لا يحافظ على صلاة الضحى إلا أواب، وهي صلاة الأوابين
“Tidaklah menjaga shalat sunnah Dhuha melainkan awwab (orang yang kembali taat). Inilah shalat awwabin.” 
(HR. Ibnu Khuzaimah, At-Thobroni,  dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib jilif 1 hlm. 164). 

Imam Nawawi rahimahullah berkata
وَالْأَوَّابُ الْمُطِيعُ وَقِيلَ الرَّاجِعُ إِلَى الطَّاعَةِ وَفِيهِ فَضِيلَةُ الصَّلَاةِ هَذَا الْوَقْتَ 
“Awwab adalah muthii’ (orang yang taat). Ada pula ulama yang mengatakan bahwa maknanya adalah orang yang kembali taat”.
(Syarh Nawawi ‘Ala  Muslim, 6/30).
4. Mendapatkan Pahalanya seperti pahala haji dan umroh yang sempurna,  Sempurna,  Sempurna
  Didalam hadits Anas Bin Malik,  Riwayat Imam At-Tirmidzi no. 586, dihasankan Ulama, diantaranya Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah Al-Ahadits As-Shohihah ni. 3403

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى الغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ.
"Barang siapa yang shalat subuh berjama'ah kemudian duduk berdzikir sampai matahari terbit yang dilanjutkan dengan shalat dua raka'at, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah." dia (Anas radliallahu 'anhu) berkata, Rasulullah bersabda: "Sempurna, sempurna, sempurna."
5. Akan dicukupi urusannya di akhir siang 
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : يَا ابْنَ آدَمَ، لَا تُعْجِزْنِي مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ فِي أَوَّلِ نَهَارِكَ ؛ أَكْفِكَ آخِرَهُ "
“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” 
(HR. Ahmad : 5/286, Abu Daud no. 1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 . Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Al-Azhim Al Abadi Rahimahullah berkata

يَحْتَمِلُ أَنْ يُرَادَ كِفَايَتُهُ مِنَ الْآفَاتِ وَالْحَوَادِثِ الضَّارَّةِ وَأَنْ يُرَادَ حِفْظُهُ مِنَ الذُّنُوبِ وَالْعَفْوِ عَمَّا وَقَعَ مِنْهُ فِي ذَلِكَ أَوْ أَعَمُّ مِنْ ذَلِكَ
“Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.” 
(‘Aunul Ma’bud : 4/118)

At-Thibby Rahimahullah berkata
 أَيْ أَكْفِكَ شُغْلَكَ وَحَوَائِجَكَ وَأَدْفَعُ عَنْكَ مَا تَكْرَهُهُ بَعْدَ صَلَاتِكَ إِلَى آخِرِ النَّهَارِ وَالْمَعْنَى أَفْرِغْ بَالَكَ بِعِبَادَتِي فِي أَوَّلِ النَّهَارِ أُفْرِغْ بَالَكَ فِي آخِرِهِ بِقَضَاءِ حَوَائِجِكَ انْتَهَى
“Yaitu  engkau akan diberi kecukupan dalam kesibukan dan urusanmu, serta akan dihilangkan dari hal-hal yang tidak disukai setelah engkau shalat hingga akhir siang. Yang dimaksud, selesaikanlah urusanmu dengan beribadah pada Allah di awal siang (di waktu Dhuha), maka Allah akan mudahkan urusanmu di akhir siang.” 
(Tuhfatul Ahwadzi : 2/478).

D. Jumlah Raka’at Paling Minimal

Jumlah Rakaatnya paling sedikit adalah 2 Rakaat,  ini juga sesuai dengan 4 Madzhab yakni Hanafi,  Maliki,  Syafi’i,  dan Hambali
Dan dijelaskan dalam hadits dari Abi Dzar Radhiallahu Anhu, riwayat Imam Muslim no. 720,  Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ؛ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
"Dipagi hari disetiap persendian diantara kalian itu (ada yang wajib) shodaqoh,  dan setiap tasbih itu shodaqoh,  dan setiap tahmid itu shodaqoh,  dan setiap tahlil itu shodaqoh,  dan setiap takbir itu shodaqoh,  dan setiap Menyuruh kepada kebaikan itu shodaqoh, dan setiap Melarang berbuat kemungkaran itu shodaqoh,  dan cukup dari hal itu 2 Rakaat Sholat Dhuha".

Imam Nawawi rahimahullah Berkata 
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى عِظَمِ فَضْلِ الضُّحَى وَكَبِيرِ مَوْقِعِهَا وَأَنَّهَا تَصِحُّ رَكْعَتَيْنِ
“Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at”.
(Syarh Nawawi Ala Muslim, 5/234).

Shalat Dhuha minimalnya adalah dua rakaat,  sedekah adalah segala bentuk kebaikan, bukan hanya terbatas bersedekah dengan harta,  dan Sholat Dhuha bisa menggantikan sedekah dengan seluruh persendian.

E. Jumlah Rakaat Paling banyak dan Pelaksanaanya

Sedangkan Rakaatnya paling banyak 8 Rakaat, dan ini merupakan pendapat jumhur atau mayoritas Ulama, dan juga Madzhab Hambali,  Maliki,  dan Syafii yang mu'tamad.

Imam Nawawi Rahimahullah berkata mengenai Madzhab Syafii
أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَقَالَ أَصْحَابُنَا صَلَاةُ الضُّحَى سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ وَأَكْثَرُهَا ثَمَانِ رَكَعَاتٍ هَكَذَا قَالَهُ الْمُصَنِّفُ وَالْأَكْثَرُونَ
“Adapun mengenai hukum masalah yang berkaitan dengan Sholat Dhuha,  Maka Ashabuna (Ulama Syafiiyyah) Berkat bahwa hukumnya sunnah muakkadah,  paling sedikit 2 Rokaat,  dan paling banyak 8 Rakaat,  inilah yang dikatakan penulis (Imam Nawawi)  dan kebanyakan dari (Madzhab Syafii)”. 
(Al-Majmu’ : 4/36)

 Didalam hadits yang diriwiyatkan ummi Hani',Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam masuk kerumah ummi hani Fakhitah binti Abi Thalib,  maka Rasulullah sholat dirumahnya 8 Rakaat Sunnah Duha. 
أنَّهُ لَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى غُسْلِهِ فَسَتَرَتْ عَلَيْهِ فَاطِمَةُ ثُمَّ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَالْتَحَفَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ سُبْحَةَ الضُّحَى
“Bahwa dia ketika tahun Fathu Makkah mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sedangkan beliau di bagian dataran teratas dari Makkah, Rasulullah sedang mandi, lalu Fathimah menutupinya, kemudian beliau mengambil bajunya, lalu berselimut dengannya, kemudian shalat delapan raka'at pada pagi dhuha”. 
(HR Bukhori no. 357, dan Muslim no. 336)

Maka hal ini menunjukan bahwa Rakaat yang paling banyak dalam sholat Dhuha adalah 8 Rakaat. 

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata

أنَّ هذا أكثر ما ورد مِن فِعْلِه صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، والأصلُ في العبادَةِ التوقُّفُ
“Bahwasannya hal ini paling banyak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam,  dan Asal dalam ibadah adalah Tawaqquf”.
(berhenti sampai ada dalil yang menjelaskannya) 
(Fathul Bari :3/54)

Pendapat yang kedua adalah tidak ada batasan rakaat sholat Dhuha,  ini merupakan pendapat pilihan Imam ibnu Jarir At-
Thabari,  Syaikh Bin Baz,  dan Syaikh Al-Utsaimin. 
 Syaikh Bin Baz Rahimahullah berkata : 
لا حدَّ لأكثرها على الأصحِّ، لأنَّه قال: ((ثمَّ صلِّ))، ولم يذكُرْ عددًا
Tidak ada batasan untuk jumlah yang terbanyaknya (Sholat Dhuha)  atas pendapat yang shohih karena sesungguhnya Rasulullah bersabda pada suatu hadit “Kemudian Sholatlah” dan beliau tidak menyebutkan bilangan (rakaatnya)  .
(Majmu Fatawa Bin Baz : 11/402)

Ibnul Qoyyim Rahimahullah berkata
قال ابن جرير:... والصواب: إذا كان الأمر كذلك: أن يُصلِّيها مَنْ أراد على ما شاء من العدد. وقد روي هذا عن قوم من السَّلف؛ حدَّثَنا ابن حميد، حدَّثَنا جرير، عن إبراهيم، سأل رجلٌ الأسودَ: كم أُصلِّي الضحى؟ قال: كما شئت
Ibnu Jarir Berkata : “Dan yang benar : jika urusan ini begitu,  untuk Sholat bagi orang yang ingin  sekehendaknya dari bilangan,  dan sungguh telah diriwayatkan hal ini dari salaf,  Telah menceritakan Ibnu Hamid,  Telah menceritakan Jarir,  Dari Ibrahim,  Seorang laki-laki hitam bertanya : Berapa saya mengerjakan sholat Dhuha?  Dia menjawab : Sekehendakmu”.(Zadul Maad : 1/351-352)

Dan Dalam Hadits dari Aisyah Radhiallahu anha,  Riwayat dari Imam Muslim : 719, 
كان رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُصلِّي الضحى أربعًا، ويَزيد ما شاءَ الله
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan shalat dhuha sebanyak empat rakaat, dan terkadang beliau menambah sekehendak Allah." 

Sedangkan pelaksanaannya adalah dengan cara sholat 2 Rakaat terus salam, Rasulullah bersabda dari Hadits Abdullah bin Umar Radhiallallahu anhu. 
  عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى
“Sholat Malam dan siang itu Dua rakaat Dua rakaat” 
(H.R Abu Daud no. 1295,  Tirmidzi no. 597, ) 


PROFIL SINGKAT PENULIS
Nama lengkap penulis adalah Rizqi Mujahid Fillah,  Lahir didaerah perbukitan yang dingin, dekat gunung ciremai, tepatnya di desa Cidulang, Cikijing,  Majalengka,  Jawa Barat.  Dilahirkan tanggal 6 Mei 1997, sekarang ini penulis sedang menempuh pendidikannya di Universitas Islam Madinah Fakultas Syari’ah tahun 2019.
Untuk menghubungi penulis,  bisa dikunjungi akun pribadinya 
Email : Rizqialghazi@gmail.com
Wattpad dan FB : Rizqi Mujahid Fillah
Twitter : @MujahidAlghazi
Instagram : Rizqi_alghazi

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer