A. Definisi I'tikaf
Menurut Bahasa
لزوم الشيئ أو المكث البقاء في المكان
Melazimkan sesuatu atau berdiam diri disuatu tempat
Menurut Istilah Syar'i adalah
الإقامةُ في المسجِدِ بِنِيَّةِ التقرُّبِ إلى الله عَزَّ وجلَّ، ليلًا كان أو نهارًا
Berdiam diri didalam Masjid untuk berniat taqorrub kepada Allah Azza wajalla, baik malam atau siang.
Definisi Syaikh Utsaimin
الاعتكاف هو لزوم الإنسان مسجدًا لطاعة الله لينفرد به عن الناس، ويشتغل بطاعة الله ويتفرغ لذلك
I'tikaf adalah seorang yang melazimkan diri dalam masjid untuk ketaatan kepada Allah, untuk menyendiri dari manusia, dan menyibukan diri kepada ketaatan Allah, dan membaktikan diri untuk itu.
(Majmu Fatawa wa rasail : 20/155)
Dengan pengertian ini, seorang yang i'tikaf wajib melakukan nya di masjid, maka jika ada seorang ber i'tikaf bertaqorrub kepada Allah ditempat selain masjid, maka hal ini bisa masuk kategori bid'ah, seperti yang difatwakan Syaikh Sholih Al-Fauzan Hafizhahullah, karena ketika seorang i'tikaf di selain masjid misalnya dirumahnya atau tempat lainnya, ia akan luput dalam melaksanakan sholat berjamaah di Masjid, dan iapun akhirnya sholat dirumahnya, ia mengira bahwa hal ini ibadah, dan bisa memutuskan hubungan dengan manusia, namun ia malah melaksanakan perkara yang diharamkan yaitu Meninggalkan Sholat berjamaah, Maka I'tikaf ini tidak disyariatkan kecuali di Masjid. Allah Azza wajalla berfirman
وَأَنتُمۡ عَـٰكِفُونَ فِی ٱلۡمَسَـٰجِدِۗ
"Ketika kamu beriktikaf dalam masjid" (Surat Al-Baqarah 187)
B. Hukum I'tikaf
I'tikaf hukumnya sunnah muakkadah untuk semua kalangan, baik laki-laki atau perempuan, yang muda atau yang tua, dan bisa dilakukan kapan saja diwaktu selain Ramadhan, namun yang paling utama 10 hari terakhir di bulan suci Ramadhan, hal ini sesuai dengan dalil dari Al-Qur'an , As-sunnah, dan Ijma, dan juga kesepakatan empat Madzhab. karena dalam hadits dijelaskan Rasulullah tidak pernah meninggalkan I'tikaf, kemudian dilanjutkan Ummahatul Mukminin. Dari Aisyah Radhiallahu Anha
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa beri'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri Beliau beri'tikaf setelah sepeninggal nya.
(H R Bukhori no. 2026, dan Muslim no. 1176)
Imam Ar-Romly Rahimullah (W 957 H), beliau merupakan Ulama Besar dalam Madzhab Syafi'i Ia berkata
هو مستحبٌّ كلَّ وقتٍ في رمضانَ وغَيرِه، بالإجماع
I'tikaf itu mustahab (Sunnah) dapat dilakukan kapan saja dibulan Ramadhan dan selainnya, hal ini menurut ijma' ulama (Nihayatul Muhataj : 3/214)
Ibnul Mundzir (W 319 H), beliau merupakan Ulama Besar Madzhab Hanabilah, Ia berkata
عن ابن شهاب أنه كان يقول: عجبًا للمسلمين، تركوا الاعتكاف والنبي -ﷺ- لم يتركه منذ دخل المدينة حتى قبضه الله تعالى
Dari Ibnu Syihab Az-Zuhri Bahwasanya ia berkata : "Sungguh mengherankan orang muslim, mereka meninggalkan I'tikaf, padahal Nabi Shallallahu alaihi wassalam tidak pernah meninggalkannya, sejak beliau berada di Madinah hingga Allah mewafatkannya." (Fathul Bari : 4/285)
C.Kenapa I'tikaf pada 10 malam terkahir itu lebih utama?
1. Karena adanya Lailatul Qodar
2. Karena Ramadhan akan segera berpisah, maka disunnahkan untuk lebih bersungguh-sungguh, karena ia menjadi penutup suatu amal, dan amal itu dilihat di akhirnya.
D. Hal yang disunnahkan dan yang dilarang ketika I'tikaf
I'tikaf merupakan Salah satu Syiar Islam yang ada dari sejak dulu, tujuan I'tikaf seorang hamba semata-mata menginginkan untuk lebih dekat bertaqorub kepada Allah, memutuskan hubungan antar makhluq misalnya jual-beli atau hal yang melalaikan, dan menyibukkan diri dengan ibadah kepada Allah, Seperti : Berdzikir, Membaca Al-Qur'an, Mendirikan Sholat pada waktu yang tidak terlarang, banyak berdo'a, Berstighfar meminta ampun atas kelalaian dan dosa, dan Bertaubat atas dosa-dosa besar.
Selain ini itu juga, ketika I'tikaf seorang disunnahkan untuk meninggalkan hal-hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat dan terlarang dalam agama, Misalnya meninggalkan perkara yang diharamkan diantaranya perkataan keji dan kotor dan amalannya seperti : Ghibah sibuk nge-gosip, Namimah mengadu domba atau menimbulkan permusuhan antara saudara sesama muslim, mencela ciptaan Allah, mendengarkan musik, dan berdusta. Hal ini sesuai dengan kesepakatan 4 Madzhab
Dan dilarang juga seorang berjual beli di Masjid atau membuat kerajinan, dan sarana terhadap hal itu. Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ، أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ
Jika kalian melihat orang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah, Semoga Allah tidak memberi keuntungan kepada barang daganganmu.
(H.R At-Tirmidzi no. 1321)
Namun Sebagian Malikiyah, dan Madzhab Hanabilah memakruhkan seorang yang menyibukan diri dengan Tadrisul Ilmi, debat, Menulis Hadits, Berduduk duduk dengan Ulama.
Sebagian ulama memakruhkan hal ini, karena khawatir lupa akan mengingat Allah atau tilawah Al-Qur'an.padahal hal ini hal yang mulia, misalnya tersibukkan dengan menulis hadits, lalu bagaimana dengan orang yang dilakukan zaman sekarang ini, mereka melakukan I'tikaf, tetapi malah sarana untuk banyak ngobrol yang tidak ada manfaatnya, menghabiskan waktunya hanya dengan makan dan tidur, dan ia sibuk dengan internet, tentunya hal ini keluar dari tujuan I'tikaf itu sendiri, hal ini bukan disebut I'tikaf tapi Iqomah?!, Tentu hal ini sanagat berbeda dengan apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, yang sebaiknya kita menjadikan beliau uswatun hasanah.
Maka seyogyanya kita bisa menghindari perkara-perkara yang tidak bermanfaat tersebut. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam pernah bersabda
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya."(Shohih, H.R Tirmidzi no. 2317, dan Ibnu Majah no 3976)
E.Hal yang Membatalkan I'tikaf
Diantara yang membatalkan I'tikaf ialah berjima' (bersenggama) , dan ia juga wajib membayar kafarah. Allah Azza wajalla berfirman
وَلَا تُبَـٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَـٰكِفُونَ فِی ٱلۡمَسَـٰجِدِۗ
Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid
(Surat Al-Baqarah 187)
Yang Kedua : keluar dari area masjid tanpa adanya sebab dan udzur yang diperbolehkan/ tidak darurat, namun jika ia keluar dengan adanya udzur misalnya ke WC, atau ingin wudlu maka hal ini diperbolehkan , dan Para ulama ijma' terhadap hal ini dibolehkan.
F. Hukum I'tikaf ketika seorang tidak Berpuasa
Jika seorang i'tikaf, dalam keadaan ia tidak berpuasa, misalnya i'tikaf dimalam harinya maka itikaf nya sah, dan tidak mengapa, ia akan mendapatkan pahala i'tikaf nya, namun jika ia beritikaf sambil mengerjakan puasa, maka hal ini yang utama. Seperti yang dijelaskan dalam suatu hadits yang shohih tentang kisahnya Umar Radhiallahu anhu yang bernadzar pada masa jahiliyah, ingin beritikaf dimalam hari di Masjidil haram, lalu nabi shallallahu alaihi wassalam menyuruh Umar Radhiallahu anhu, untuk menunaikan nadzar nya tersebut. Dan kita ketahui di malam hari itu seorang dalam keadaan tidak berpuasa
أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَذَرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، قَالَ : أُرَاهُ قَالَ : لَيْلَةً. قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْفِ بِنَذْرِك
Bahwa 'Umar bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, katanya: "Aku pernah bernadzar di zaman Jahiliyyah untuk beri'tikaf dalam satu malam di Al Masjidil Haram". Maka Beliau berkata: "Tunaikanlah nadzarmu itu". (H.R Bukhori no 2043 dan Muslim no. 1656)
Pendapat Ini juga sesuai dengan Madzhab Syafiiyyah dan Hanabilah.
G. Syarat Sah I'tikaf
1. Islam, maka jika ia kafir atau murtad, maka tidak sah itikafnya, Allah Azza wajalla berfirman
وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا
Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.
(Surat Al-Furqan 23)
Maksudnya ialah orang yang kafir yang beramal amalan baik untuk diri mereka, namun hal itu tidak diterima.
Dalam ayat lain, Allah Azza wajalla berfirman
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu (Az-Zumar ayat 65)
2. Berakal, maka tidak sah I'tikaf bagi orang gila
3. Mumayyiz, adalah yang bisa membedakan yang baik dan buruk, Fuqaha mengatakan minimal 7 tahun
4. Niat untuk taat kepada Allah
Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits Bukhori dan Muslim, mengenai niat, Diriwayatkan dari Sahabat Umar bin Khattab Radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.
5. Jika seorang Istri ingin beri'tikaf, maka harus ada izin dari suami, Begitupun hamba sahaya harus ada izin tuannya, maka tidak boleh beritikaf kecuali dengan izin mereka, karena mentaati nya wajib, sedang I'tikaf adalah sunnah. Imam Nawawi berkata
لأنَّ استمتاعَها مِلكٌ للزَّوجِ، فلا يجوزُ إبطالُه عليه بغَيرِ إذنِه
Karena menikmati nya (Istri) adalah milik seorang suami, maka tidak boleh dibatalkan atasnya (I'tikaf) tanpa izin nya.
(Al-Majmu' : 6/476)
6. Harus Di Masjid dimana yang didalamnya ditegakkan sholat berjamaah, dan tidak diperbolehkan di Mushola rumahnya.
Allah Azza wajalla berfirman
وَأَنتُمۡ عَـٰكِفُونَ فِی ٱلۡمَسَـٰجِدِۗ
"Ketika kamu beriktikaf dalam masjid"(Surat Al-Baqarah 187).
Karena ketika I'tikaf selain di Masjid, ia akan luput melaksanakan shalat Jama'ah, dan ia pasti akan sering keluar masjid, dan ini menghilangkan urgensi itikaf itu sendiri. Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama
7. Suci dari Hadats Besar, seperti junub, Haid, dan nifas. Maka jika seorang wanita haid diwaktu ia beri'tikaf, mak ia harus menghentikan I'tikaf nya dan keluar masjid, Tidak diperbolehkan juga berjima' di masjid ketika I'tikaf, namun jika ia bermimpi maka hal ini tidak membatalkan.
8. Tidak keluar Masjid dan area Masjid (bagian menara, halaman, atau yang masuk dalam perluasannya) kecuali Darurat atau udzur, misalnya ingin ke kamar mandi, untuk buang hajatnya seperti : Mandi, berwudlu, kencing, BAB atau ingin makan minum jika tidak ada yang mengantarkan nya, atau hendak sholat jum'at, jika masjid nya tidak ditegakkan sholat jum'at. Namun jika ia keluar ingin ber jual-beli, Menjenguk yang sakit, Mengantarkan jenazah, maka hal ini tidak diperbolehkan dan tidak sah. Dari Aisyah Radhiallahu anha ia berkata
السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَلَّا يَعُودَ مَرِيضًا، وَلَا يَشْهَدَ جِنَازَةً، وَلَا يَمَسَّ امْرَأَةً وَلَا يُبَاشِرَهَا، وَلَا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلَّا لِمَا لَا بُدَّ مِنْهُ،
Yang disunahkan atas orang yang beri'tikaf adalah tidak menjenguk orang yang sedang sakit, serta tidak mengiringi jenazah serta tidak menyentuh wanita, tidak bercampur dengannya dan tidak keluar untuk suatu keperluan kecuali karena sesuatu yang harus ia lakukan.
(H.R Abu Daud no 2473)
9. Apabila ber nadzar ingin itikaf di tiga masjid utama (Masjidil Aqsho, Masjidil Haram, dan Masjid Nabawi), Maka wajib ia ber itikaf di tiga masjid tersebut, atau bernadzar I'tikaf dalam keadaan berpuasa.
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
Barangsiapa yang ber nadzar menaati Allah, Maka hendaklah ia taati. (H.R Bukhori no. 6696)
H.Durasi Waktu paling pendek
Dalam Madzhab Hanabilah, disebutkan
ولو ساعة
Walaupun satu jam /sesaat
Diriwayatkan dalam Mushonanaf Abdurrazaq dengan sanad yang shohih dari sahabat Ya'la bin Umayyah Radhiallahu anhu ia berkata
إنِّي لَأمْكُثُ فِي المَسْجِدِ السّاعَةَ، وما أمْكُثُ إلّا لِأعْتَكِفَ
Sesungguhnya aku benar-benar berdiam di masjid satu jam, dan tidaklah aku berdiam diri kecuali untuk beri'tikaf (Mushonnaf : 4/346)
Dalam Madzhab Syafi'iyah
ولو لحظة
Walaupun sebentar (waktu yang singkat).
Secara Dzohir jika ia I'tikaf hanya sebentar tidak disebut I'tikaf, seperti yang ditetapkan Ibnu Qudamah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ibnu Utsaimin berkata tentang durasi paling pendek
يوم أو ليلة
sehari atau semalam
Maka disunnahkan bagi yang I'tikaf ia mengerjakannya sehari atau semalam, Khurujun minal Khilaf (keluar dari khilaf)
Tetapi, Intinya kebanyakan Fuqaha mengatakan bahwa I'tikaf tidak ada batasan seperti yang dikatakan Ibnu Abdil Barr Rahimahullah
ولا حدَّ عند أبي حنيفة، والشَّافعي، وأكثَرِ الفقهاء في أقَلِّ مُدَّتِه
Tidak ada batasan (I'tikaf) pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi'i, dan Kebanyakan Fuqaha tentang paling pendek durasinya. (Al-Istidzkar : 10/313)
I. Hal yang dibolehkan ketika I'tikaf
1. Akad Nikah. Imam Nawawi Rahimahullah berkata
يجوز أن يتزوج و أن يزوج، ولا أعلم فيه خلافا
"Dibolehkan seorang menikah atau menikahkan, dan saya tidak tahu bahwa hal ini terjadi Khilaf "
Ibnu Abdil Barr juga Berkata
ولم أسمع أحد يكره للمعتكف ولا للمعتكفة أن
ينكحا في إعتكافها
Saya belum mendengar seorangpun memakruhkan bagi mu'takif atau mu'takifah (prmpuan), untuk keduanya menikah dalam I'tikaf nya
(Al-Istidzkar : 3/403)
2. Sekedar Bercengkrama, dengan Istri, menyisir suaminya, selama hal itu tidak sampai timbulnya syahwat atau ia bercengkrama seperlunya. Karena Aisyah Radhiallahu anha menyisir rambut Rasulullah, dan Shofiyyah Radhiallahu anha juga berkunjung dan bercengkrama seperlunya ketika Rasulullah I'tikaf.
J. Waktu dimulainya Seorang yang menginginkan I'tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, menjadi 2 pendapat
Pendapat pertama dimulai sejak tenggelam nya matahari, malam ke21 Ramadhan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudriy Radhiallahu anhu
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان يعتكِفُ في العَشرِ الأوسطَ مِن رمضان، فاعتكف عامًا، حتى إذا كان ليلةَ إحدى وعشرين، وهي الليلةُ التي يخرُجُ مِن صَبيحَتِها من اعتكافِه، قال: من كان اعتكَفَ معي، فليعتَكِفِ العَشرَ الأواخِرَ
"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam 'i'tikaf pada sepuluh malam pertengahan bulan dari Ramadhan lalu orang-orang mengikutinya. Hingga ketika malam kedua puluh satu, yaitu malam ketika Beliau kembali ke tempat i'tikaf Beliau, Beliau berkata: "Siapa yang telah beri'tikaf bersamaku maka hendaklah dia beri'tikaf pada sepuluh malam-malam akhir" (H.R Bukhori no. 2027, dan Muslim no. 1167)
Ini juga merupakan kesepakan 4 Madzhab, Madzhab Hanafiyah, Madzhab Syafi'iyah, Madzhab Malikiyah, dan Madzhab Hanabilah. (Lihat Al-Umm : 3/265, Hasyiyah Ibnu Abidin : 2/452, Bidayatul Mujtahid : 2/206)
Ibnu Daqiq Ied berkata
الجمهورُ على أنَّه إذا أراد اعتكافَ العَشرِ دخل مُعتَكَفَه قبل غروبِ الشَّمس
Jumhur ulama bahwasanya apabila seorang ingin I'tikaf pada 10 (hari terakhir Ramadhan), maka ia masuk ke tempat I'tikaf nya sebelum tenggelam matahari (Ihkamul Ahkam hlm 293)
Syaikh Ibnu Utsaimin Berkata
يدخُلُ المُعتَكف عند غروبِ الشَّمس ليلةَ العشرين من رمضان، فإنَّ العَشرَ الأواخِرَ تبتدئ بغروبِ الشَّمسِ ليلةَ العِشرينَ مِن رمضان
"Dia masuk ketempat i'tikafnya ketika tenggelam nya matahari malam ke-20 Romadhon, karena 10 Malam terakhir dimulai dari tenggelam nya matahari yaitu malam ke-21 Ramadhan " (Majmu' Fatawa wa rosail Ibnu Utsaimin : 20/179)
Ibnu Qudamah juga berkata
قال الله تعالى: وَليالٍ عَشْر. وأوَّلُ الليالي العَشرِ ليلةُ إحدى وعشرين
Allah Azza Wajalla Berfirman : "demi malam yang sepuluh", dan Malam yang pertama pada malam yang sepuluh, adalah Malam ke -21 (Al-Mughni : 3/208)
Pendapat yang kedua, Dimulainya I'tikaf Ba'da Shubuh pada hari ke-21 Ramadhan, ini merupakan pendapat salah satu riwayat Imam Ahmad, Al-Auzai, Ibnul Qoyyim, Ibnul Mundzir, Ash-Shon'ani, dan Syaikh Bin baz. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiallahu anha
كان رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا أراد أن يَعتَكِفَ، صلَّى الفَجرَ، ثم دخل مُعتَكَفَه
Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hendak I'tikaf, beliau shalat Shubuh terlebih dahulu, lalu masuk ke tempat I'tikafnya (H.R Bukhari no. 2033, dan Muslim no. 1173)
Pendapat Yang rojih adalah pendapat pertama, Insya Allah Karena beberapa poin
1.Karena maksud atau tujuan dari I'tikaf adalah mencari malam lailatul Qodar, dan dari tanda-tanda yang disebutkan dihadiri bahwa terjadinya lebih condong pada malam-malam ganjil, dan ini dimulai pada malam ke -21
2. Bahwa apabila ia masuk pada malam sebelum Maghrib, maka niat nya benar, bahwa ia akan beritikaf secara sempurna, namun jika ia beritikaf pada hari ke-21 maka ia melaksanakan I'tikaf tidak sempurna atau tidak secara keseluruhan.
Jumhur ulama menjawab, tentang maksud hadits yang dibawakan oleh pendapat kedua adalah bahwasannya, Rasulullah memutuskan di tempat i'tikafnya setelah Sholat Shubuh untuk menyendiri secara pribadinya dari manusia setelah mereka berkumpul untuk Sholat, bukan maksudnya Rasulullah memulainya setelah Shubuh, tetapi Rasulullah memulai i'tikafnya sebelum Maghrib, berdiam diri dimasjid, maka ketika selesai Sholat Shubuh selesai beliau menyendiri. karena apabila Rasulullah masuk masjid, mulailah I'tikaf dengan masuknya beliau, karena itikaf dimulai ketika sudah masuk masjid, dan juga berniat I'tikaf sebelum sholat shubuh.
Wallahu A'lam Bisowwab
Cidulang, 27 Ramadhan 1442 H
Oleh : Rizqi Mujahid Fillah حفظه الله
Maroji'
1. Roudhul Murbi' Manshur Al-Buhuti
2. Hasyiah Roudhul Murbi' Abdurrahman Al-Qosim
3. Taudihul Ahkam Syaikh Abdullah Bassam
4. Minhatul 'Allam Abdullah Al-Fauzan
5.Syarh Mukhtasar 'Ala Zadul Mustaqni' Sholih Al-Fauzan
6. Mulakhos Fiqhul Ibadah Qismul Ilmi Muassah Ad-Duror Ats-Tsaniyyah
7. Aktsar Miatai Mauidzoh wa faidzah Mutaaliqoh Bish-Shiyam wa Syahru Romadhon Sholih Al-Ushoimi
8. Al-Majmu' An-Nawawi
9. Al-Mughni Ibnu Qudamah
10. Majmu' wa fatawa wa rosail Ibnu Utsaimin
11.Fathul Bari Ibnu Hajar
Mauqi'
Dorar.net
Komentar
Posting Komentar