Fiqih jumhur
Mengetahui kadar diri itu penting, hatta para guru sekalipun, Level ustadz lokal bukanlah level Mufti apalagi Mujtahid sehingga bebas liar memahami dalil fiqih secara otodidak tanpa ada kalam ulama salaf atau Khalaf yang bersamanya, apalagi tidak dilandasi oleh ushul fiqih yang kuat.
"Jumhur ulama bukan hujjah, wajib berpegang kepada dalil Al-Qur'an dan Sunnah". Apakah anda pikir anda saja yang berdalil Qur'an dan Sunnah, sedangkan jumhur ulama berdalil Taurat & Injil ?! Justru yang menjadi pertanyaan ialah diatas pemahaman siapakah dalam membuat suatu kesimpulan hukum atas suatu dalil ? Ini sangat penting sekali, jika selevel para raksasa keilmuan semisal An-Nawawi, Al-Baihaqi Ibnu 'Abdil Barr, Ibnu Rajab memahami dalil berdasarkan ushul yang ditetapkan para imam, lantas siapakah diri kita ?
Memang benar jumhur ulama bukan dalil karena ia bukanlah ijma', namun sejak dahulu yang menyelisihi jumhur ialah orang-orang besar, Abu Bakr menyelisihi jumhur sahabat dalam memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat dan kebenaran pada beliaulah. 'Umar menyelisihi jumhur dalam masalah tawanan perang Badr, dan kebenaran ada pada beliau Radhiallahu 'anhuma. Demikian pula Al-Imam Ahmad dan para ulama kibar lainnya yang menyelisihi jumhur, namun mereka adalah mereka, raksasa keilmuan. Maka berkacalah sedikit jika hendak menyelisihi jumhur, minimal mengetahui kadar diri : "Saya bukan mufti apalagi Mujtahid"
Status adalah reaksi pernyataan seorang rekan saya yang berprofesi sebagai guru ummat yang terlalu bersemangat dalam menerapkan dalil karena ia cinta kebenaran, namun perlu bimbingan.
Komentar
Posting Komentar