Menjawab Pertanyaan "Di manakah Allah?"


Jawaban pertanyaan ini sangat jelas dalam sebuah hadits di mana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seorang budak,

أَيْنَ اللَّهُ

"Di manakah Allah?"

Lalu budak tersebut menjawab,

فِى السَّمَاءِ

"Di atas langit"

Perhatikan teks lengkap haditsnya berikut,

ﻋَﻦْ ﻣُﻌَﺎﻭِﻳَﺔَ ﺑْﻦِ ﺍْﻟﺤَﻜَﻢِ ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَ ﺑِﺘِﻠْﻚَ ﺍْﻟﺠَﺎﺭِﻳَﺔِ ﺍﻟﺴَّﻮْﺩَﺍﺀَ ﻗﺎَﻝَ ﻟَﻬَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻳْﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﻦْ ﺃَﻧَﺎ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﺃَﻧْﺖَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻋْﺘِﻘْﻬَﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔٌ

“Dari Mu’awiyah bin al-Hakam bahwasanya dia mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa seorang budak wanita hitam. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya pada budak wanita tersebut: ’Di mana Allah?’ Budak itu menjawab, ’Di atas langit’ . Rasul bertanya lagi, ’Siapakah aku?’ Budak itu menjawab, ’Engkau adalah utusan Allah’. Maka Rasul berkata: ’Merdekakanlah ia karena ia adalah mukminah (wanita beriman)’"[1]

Perhatikan perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Mu'awiyah bin Al-hakam agar memerdekakan budak tersebut, karena budak tersebut beriman dan tanda keimanannya adalah dengan tepat menjawab pertanyaan "di mana kah Allah" dan jawabannya tepat yaitu "di atas langit".

Dalam riwayat Ahmad, Mu'awiyah bin Al-hakam meminta nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan pertanyaan ujian kepada budak wanita tersebut, untuk membuktikan apakah ia beriman atau tidak, jika budak itu beriman maka ia akan merdekakan, ia berkata,

ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﻋﻠﻲَّ ﺭﻗﺒﻪ ﻣﺆﻣﻨﺔ ﻓﺈﻥ ﻛﻨﺖ ﺗﺮﻯ ﻫﺬﻩ ﻣﺆﻣﻨﺔ ﻓﺄﻋﺘﻘﻬﺎ

"Wahai Rasulullah, saya punya budak yang mukmin, jika engkau mengetahui (tanda-tanda) ia beriman, maka akau akan bebaskan ia"

Sehingga untuk mejawab pertanyaan "di mana kah Allah", maka jawabannya sebagaimana hadits tersebut. Sangat jelas dan sesuai dengan dzahir hadits serta tidak perlu ditakwil (dicari-cari arti lainnya) karena sangat banyak dalil yang menjelaskan Allah berada di atas langit.

Sebagaimana dalam firman Allah,

ﺃَﺃَﻣِﻨﺘُﻢ ﻣَّﻦ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀ ﺃَﻥ ﻳَﺨْﺴِﻒَ ﺑِﻜُﻢُ ﺍﻷَﺭْﺽَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻫِﻲَ ﺗَﻤُﻮﺭُ

“Apakah kalian merasa aman dari Rabb yang berada di atas langit, bahwa kalian akan dijungkirbalikkan dengan dibalikkannya bumi, sehingga dengan tiba-tiba bumi terguncang?” (Qs. al-Mulk: 16).

Ibnu Abdil Barr rahimahullah menjelaskan makna ayat ini, bahwa Allah berada di atas langit, beliau berkata

" ﻭﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ‏( ﺃَﺃَﻣِﻨْﺘُﻢْ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﺃَﻥْ ﻳَﺨْﺴِﻒَ ﺑِﻜُﻢُ ‏) ﺍﻟﻤﻠﻚ 16/ ﻓﻤﻌﻨﺎﻩ : ﻣَﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻳﻌﻨﻲ : ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ .

"Maknanya adalah Rabb yang berada di atas langit yaitu di atas 'Arsy."[2]

Begitu juga dengan beberapa hadits yang sangat jelas mengatakan Allah berada di atas langit, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa salam,

ﺃَﻻَ ﺗَﺄْﻣَﻨُﻮْﻧِﻲ ﻭَ ﺃَﻧَﺎ ﺃَﻣِﻴْﻦُ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ

“Tidakkah kalian mau percaya kepadaku, padahal aku adalah kepercayaan dari Rabb yang ada di langit? ”[3]

Begitu juga dengan ijma' ulama bahwa Allah berada di atas langit/ di atas 'Arsy

Al-Auza'i rahimahullah berkata,

ﻛﻨﺎ ﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻮﻥ ﻣﺘﻮﺍﻓﺮﻭﻥ ﻧﻘﻮﻝ : ﺍﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻓﻮﻕ ﻋﺮﺷﻪ ﻭﻧﺆﻣﻦ ﺑﻤﺎ ﻭﺭﺩﺕ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺗﻪ

"Dahulu ketika kami para tabi'in masih banyak, kami mengatakan bahwa Allah 'azza wa jalla berada di atas 'arsy-Nya dan kami mengimani sifat Allah sesuai apa yang terdapat dalam sunnah."[4]

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,

ﻫﺬﺍ ﻗﻮﻝ ﺍﻻﺋﻤﺔ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ : ﻧﻌﺮﻑ ﺭﺑﻨﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ، ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺟﻞ ﺟﻼﻟﻪ : ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ

“Ini perkataan para imam di Islam, Sunnah, dan Jama’ah yaitu: kami mengetahui Rabb kami di atas langit yang ketujuh di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu berfirman : Ar-Rahmaan di atas ‘arsy beristiwa”[5]

Syaikhul Islam berkata,

بعض أكابر أصحاب الشافعي أنه قال: "في القرآن ألف دليل أو أزيد تدل على أن الله تعالى عالٍ على الخلق، وأنه فوق عباده، وقال غيره: فيه ثلاثمائة دليل تدل على ذلك..."

"Mayoritas ulama syafi'iyah mengatakan bahwa dalam Al-Quran terdapat 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah Ta'ala maha tinggi dan berada di atas makhluk dan hamba-Nya. Beberapa ulama lain mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal tersebut."[6]

Demikian semoga bermanfaat

@ Kereta Api, perjalanan Ciluengsi- Yogyakarta

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, An- Nasaai, Malik

[2] At-Tamhid 7/130

[3] HR. Bukhari, no. 4351 dan Muslim, no. 1064

[4] Muktashar Al-'Uluw Adz-Dzahabi 137, Fathul Bari 13/417

[5] Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim 2/1103

[6] Majmu’ Al Fatawa 5/121

https://muslim.or.id/35494-menjawab-pertanyaan-di-manakah-allah.html
[5/5, 12:15] .: Para ulama berbeda pendapat tentang pelaksaan puasa sunnah sebelum selesai mengqadha’ Ramadhan tahun lalu.

Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak sah hukumnya melaksanakan puasa sunnah sebelum dipenuhi puasa wajibnya terlebih dahulu, jika dia tetap melakukannya maka ia dianggap berdosa.

Alasan mereka adalah ibadah sunnah itu tidak dikerjakan sebelum menyelesaikan ibadah wajib.

Sebagian ulama berpendapat hal itu boleh-boleh saja selama waktunya tidak terbatas, mereka berkata: “Selama waktunya luas maka dia boleh melaksanakan yang sunnah, sebagaimana bolehnya melaksanakan shalat sunnah sebelum shalat wajib, sebagai contoh; awal masuknya waktu Dzuhur adalah tergelincirnya matahari sampai semua bayangan sesuatu sama rata dengan sesuatu tersebut, berarti dia masih bisa melaksanakan di akhir waktu, pada masa tersebut dia boleh melaksanakan shalat sunnah; karena waktunya luas”.

Pendapat ini adalah pendapat mayoritas para ahli fikih, pendapat ini juga dipilih oleh yang terhomat Syiekh Muhammad bin Utsaimin, beliau berkata:

“Pendapat inilah yang lebih kuat, dan lebih mendekati kebenaran. Puasanya juga sah, dia juga tidak bersdosa; karena qiyasnya begitu jelas. Allah Ta’ala berfirman:

( ومن كان مريضاً أو على سفر فعدّة من أيام أخر( البقرة/185

“dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (QS. Al Baqarah: 185)

Maksudnya dia harus mengqadha’ puasanya pada hari lain, Allah tidak mengikatnya harus dilakukan secara langsung dan berurutan. Kalau misalnya diikat harus berurutan secara langsung maka wajib dilaksanakan segera (ternyata tidak demikian). Maka hal itu menunjukkan masalah itu luas.

Komentar

Postingan Populer